Sabtu, 03 Maret 2012

Kuantitas dan Pendidikan

Kuantitas pada pendidikan, sebut saja contohnya seperti hasil ulangan atau hasil latihan. Pada awalnya aku sendiri yakin kalau hasil ulangan yang di buat oleh para pengajar adalah untuk benar-benar menilai kemampuan para muridnya, tapi kenyataan yang saya lihat dikalangan para murid, mereka mengejar nilai kelihatannya hanya agar di rapornya terpampang nilai yang tinggi dan tidak di cap bodoh oleh orang sekitarnya. Sehingga mereka bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan nilai mata pelajaran, contoh yang bisa kita lihat adalah "mencontek jawaban milik teman" ataupun memakai teknik mencontek lainnya yang sudah layak uji.

Padahal menurut pendapatku, sebaiknya bukan nilai yang di incar, tapi ilmunya, hmmmm, jika aku sudah menulis 'ambil ilmunya' kelihatannya sudah basi sekali jadi sebaiknya aku katakan begini saja 'kejarlah kesempurnaannya bukan angkanya', wah, masih basi juga ? ya sudahlah yang penting kuasai saja ilmunya bukan kuasai nilainya (he he, sama aja ya)

Nilai menjadi tolak ukur kepandaian menurut saya menjadi terpeleset pengertiannya, dikarenakan hal ini sudah di biasakan dari kecil. Aku ingat sewaktu aku masih sekolah tk, waktu itu aku masih giat-giatnya belajar menulis, waktu itu rasanya semangat sekali ingin menyaingi teman sebangku agar bisa lebih baik darinya dalam hal menulis A,B,C,D, dst... (kejadiannya memang sudah lama, tapi belajar menulis bagiku adalah pengalaman bermakna, biarpun tulisan tanganku masih jelek sampai sekarang, he he). namun setelah masuk sekolah dasar kelas 4, nilai mulai menjadi sesuatu yang sangat meresahkan bagiku.

Nah, dari pengalamanku tadi, apakah sobat bisa ambil pelajaran,,, yup, persaingan, persaingan bisa memicu kita untuk belajar lebih giat (buat yang udah bisa berpikir perlu ada hadiahnya), itu yang pertama.

Kalau tadi yang pertama, jadi sekarang ada yang kedua. Pada postinganku sebelumnya (copas punya orang sih) "Renungan: Bisakah "rahasia" ini kita terapkan untuk memajukan Indonesia dan anak-anak kita? Tentu saja!" di sebutkan kalau indonesia ini sudah biasa dengan budaya menghukumnya, tapi tidak terbiasa dengan budaya motivasi, jadi yang kedua adalah motivasi lebih baik dari pada hukuman, motivasi dengan cara menghukum bukannya tidak baik, hanya saja hal tersebut hanya dapat bekerja pada beberapa orang saja, dan bahkan budaya menghukum yang berlebihan dapat berpengaruh tidak baik terhadap mental orang tersebut.

Jadi intinya adalah usahakan agar kita belajar untuk mengejar ilmunya agar diri kita, pikiran kita, dan kepribadian kita bisa lebih berkembang, kalau cuma cari nilai tinggi, nyontek juga bisa kan, walaupun aku sendiri sudah sering nyontek (korban zaman).

Pemikiranku masih belum selesai ternyata, hmmmmm, bagaimana jika kuantitas pendidikan kita kaitkan dengan harga pendidikan yang bisa dikatakan mahal sekarang ini ? jadi apakah pantas dikatakan jika pendidikan hanya untuk orang-orang terlanjur kaya seperti bang majid dan kawan-kawan (he he, itu lo yang di islam ktp), atau ada orang miskin dilarang sekolah. jawabannya tentu saja tidak, lalu bagaimana kita harus menyikapinya, kelihatannya pemerintah sudah melakukan banyak upaya untuk mennggulanginya, walaupun masih banyak kekurangannya dan masih banyak juga yang belum tersentuh, terbukti dari lingkungan ku sendiri yang masih ada saja anak-anak yang keluyuran gak sekolah atau pun gak mampu sekolah karena biaya, aku yang manusia biasa ini menyikapinya hanya dengan berdoa mudahan kedepannya 'gaya' pendidikan kita ini bisa lebih baik, atau mungkin sobat punya pendapat lain, silahkan berkomentar.

Mungkin itu saja yang dapat saya sampaikan (kayak penutup pidato), Mohon maaf kalau ada yang salah dalam tulisan saya kali ini, sebab aku sendiri masih berstatus pelajar, 'pelajar yang ingin berbagi pemikirannya'.

Salam Pendidikan
sumber : http://mrsimpel.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar