Kuantitas pada pendidikan, sebut saja contohnya seperti hasil ulangan
atau hasil latihan. Pada awalnya aku sendiri yakin kalau hasil ulangan
yang di buat oleh para pengajar adalah untuk benar-benar menilai
kemampuan para muridnya, tapi kenyataan yang saya lihat dikalangan para
murid, mereka mengejar nilai kelihatannya hanya agar di rapornya
terpampang nilai yang tinggi dan tidak di cap bodoh oleh orang
sekitarnya. Sehingga mereka bisa melakukan apa saja
untuk mendapatkan nilai mata pelajaran, contoh yang bisa kita lihat
adalah "mencontek jawaban milik teman" ataupun memakai teknik mencontek
lainnya yang sudah layak uji.
Padahal menurut pendapatku, sebaiknya bukan nilai yang di incar, tapi
ilmunya, hmmmm, jika aku sudah menulis 'ambil ilmunya' kelihatannya
sudah basi sekali jadi sebaiknya aku katakan begini saja 'kejarlah
kesempurnaannya bukan angkanya', wah, masih basi juga ? ya sudahlah yang
penting kuasai saja ilmunya bukan kuasai nilainya (he he, sama aja ya)
Nilai menjadi tolak ukur kepandaian menurut saya menjadi terpeleset
pengertiannya, dikarenakan hal ini sudah di biasakan dari kecil. Aku
ingat sewaktu aku masih sekolah tk, waktu itu aku masih giat-giatnya
belajar menulis, waktu itu rasanya semangat sekali ingin menyaingi teman
sebangku agar bisa lebih baik darinya dalam hal menulis A,B,C,D, dst...
(kejadiannya memang sudah lama, tapi belajar menulis bagiku adalah
pengalaman bermakna, biarpun tulisan tanganku masih jelek sampai
sekarang, he he). namun setelah masuk sekolah dasar kelas 4, nilai mulai
menjadi sesuatu yang sangat meresahkan bagiku.
Nah, dari pengalamanku tadi, apakah sobat bisa ambil pelajaran,,, yup,
persaingan, persaingan bisa memicu kita untuk belajar lebih giat (buat
yang udah bisa berpikir perlu ada hadiahnya), itu yang pertama.
Kalau tadi yang pertama, jadi sekarang ada yang kedua. Pada postinganku sebelumnya (copas punya orang sih) "Renungan: Bisakah "rahasia" ini kita terapkan untuk memajukan Indonesia dan anak-anak kita? Tentu saja!"
di sebutkan kalau indonesia ini sudah biasa dengan budaya menghukumnya,
tapi tidak terbiasa dengan budaya motivasi, jadi yang kedua adalah
motivasi lebih baik dari pada hukuman, motivasi dengan cara menghukum
bukannya tidak baik, hanya saja hal tersebut hanya dapat bekerja pada
beberapa orang saja, dan bahkan budaya menghukum yang berlebihan dapat
berpengaruh tidak baik terhadap mental orang tersebut.
Jadi intinya adalah usahakan agar kita belajar untuk mengejar ilmunya
agar diri kita, pikiran kita, dan kepribadian kita bisa lebih
berkembang, kalau cuma cari nilai tinggi, nyontek juga bisa kan,
walaupun aku sendiri sudah sering nyontek (korban zaman).
Pemikiranku masih belum selesai ternyata, hmmmmm, bagaimana jika
kuantitas pendidikan kita kaitkan dengan harga pendidikan yang bisa
dikatakan mahal sekarang ini ? jadi apakah pantas dikatakan jika
pendidikan hanya untuk orang-orang terlanjur kaya seperti bang majid dan
kawan-kawan (he he, itu lo yang di islam ktp), atau ada orang miskin
dilarang sekolah. jawabannya tentu saja tidak, lalu bagaimana kita harus
menyikapinya, kelihatannya pemerintah sudah melakukan banyak upaya
untuk mennggulanginya, walaupun masih banyak kekurangannya dan masih
banyak juga yang belum tersentuh, terbukti dari lingkungan ku sendiri
yang masih ada saja anak-anak yang keluyuran gak sekolah atau pun gak
mampu sekolah karena biaya, aku yang manusia biasa ini menyikapinya
hanya dengan berdoa mudahan kedepannya 'gaya' pendidikan kita ini bisa
lebih baik, atau mungkin sobat punya pendapat lain, silahkan
berkomentar.
Mungkin itu saja yang dapat saya sampaikan (kayak penutup pidato), Mohon
maaf kalau ada yang salah dalam tulisan saya kali ini, sebab aku
sendiri masih berstatus pelajar, 'pelajar yang ingin berbagi
pemikirannya'.
Salam Pendidikan
sumber : http://mrsimpel.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar